Diantara sekian banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan, ada
satu nikmat yang melandasi datangnya nikmat-nikmat yang lain, yaitu ilmu. Sebab
dengan ilmu, seseorang akan dapat memahami berbagai hal dan karena ilmu juga,
seseorang akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, juga di
kalangan manusia. Terutama jika disertai dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Baik dia seorang budak atau orang
merdeka; seorang bawahan atau atasan; seorang rakyat jelata ataupun para raja.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَاقِيْـلَ لَكُمْ
تَفَـسَّحُوْافِيْ الْمَجَلِسِ فَافْـسَحُوا يَفْـسَحِ اللهُ لَكُمْۖ وَإِذَا
قِيْـلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبْيْرٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kalian, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’
maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.”(Qs.
Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ
بِهِ آخَرِيْنَ .
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum
dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan
oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]
Dalil di atas dengan menegaskan bahwa orang yang berilmu dan
mengamalkannya maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan
dinaikkan derajatnya di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla menolak
persamaan antara orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak
memiliki ilmu. Sebagaimana Dia menolak persamaan antara para penghuni Surga
dengan para penghuni Neraka. Allah berfirman,
قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ
يَعْلَمُونَۗ …
Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)
Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada
hakikatnya mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang
yang tidak berilmu tidak akan pernah setara kedudukannya. Yang dapat memahami
maksud tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai
ilmu, kedudukan dan keutamannya. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462) dan Syarah
Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/284)]
Sementara itu, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan,
لاَيَسْتَوِى أَصْحَبُ النَّارِ وَأَصْحَبُ الْجَنَّةِۗ …
Artinya: “Tidak sama (antara) para penghuni Neraka dengan para
penghuni Surga…” (Qs.
Al-Hasyr: 20)
Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan
orang yang berilmu. Bahkan, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk
memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan
memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah Ta’ala,
يَسْـئَلُوْنَكَ مَاذَآ أُحِـلَّ لَهُمْۗ قُلْ أَحِـلَّ لَكُمُ
الطَّيِّبَتُ وَمَاعَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ
تُعَـلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَـكُلُوْا مِمَّآ أَمْسَكْنَ
عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوااسْمَ اللهِ عَلَيْهِۖ وَاتَّقُوااللهَۗ إِنَّ اللهَ
سَرِيْعُ الْحِسَابِ
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang
ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk
berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka
makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang
buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat cepat hisab-Nya.’”(Qs. Al-Ma’idah: 4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena
ilmu dan diberi kedudukan yang berbeda dengan binatang yang tidak berilmu.
Seandainya bukan karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang
terlatih dan tidak terlatih statusnya sama, yakni haram hukumnya untuk
dikonsumsi. Akan tetapi, hewan yang ditangkap anjing pemburu statusnya halal,
tidak sebagaimana hasil buruan anjing liar.
Jika kedudukan binatang saja bisa mengalami kenaikan karena
ilmu, bagaimana halnya dengan kedudukan seorang manusia yang jelas-jelas
kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia dari pada binatang?
Pada kesempatan kali ini, dengan memohon taufik kepada Allah Jalla Dzikruhu,penulis
akan menghadirkan pembahasan mengenai nikmat dan keutamaan para pemilik ilmu
beserta dengan hukum dan macam-macam ilmu dalam tinjauan syari’at.
DEFINISI
ILMU DAN TINGKATANNYA
Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan
pengetahuan yang sebenarnya. [Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18), Syarh Ushul min
‘Ilmil Ushul (hal.
75), Ushul Fiqh
Terjemah (hal. 24),
dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
16)]
Ilmu pada hakikatnya terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu dharuri, adalah pengetahuan tentang suatu hal
tanpa memerlukan penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil
(keterangan). Contohnya: pengetahuan bahwa api itu panas.
2. Ilmu nazhari, adalah pengetahuan tentang suatu hal
yang didahului oleh penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil.
Contohnya: pengetahuan tentang tata cara wudhu dan shalat.
Adapun tingkatan ilmu yang dimiliki oleh seseorang terbagi dalam
enam tingkatan, yaitu:
1. Al-‘Ilmu, maksudnya
adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
2.
Al-Jahlul Basith, maksudnya adalah tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu
hal tertentu, sama sekali.
3.
Al-Jahlul Murakkab, maksudnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal
tertentu, namun dia mengaku memiliki pengetahuan tentang itu, padahal keliru
dan tidak sesuai dengan realita. Disebut murakkab yang
artinya bertingkat, karena terdapat dua kebodohan sekaligus pada orang
tersebut, yaitu bodoh karena dia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena
dia beranggapan bahwa dia mengetahui yang sebenarnya, padahal dia tidak
mengetahui.
4.
Azh-Zhann, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya
lebih besar dari pada salahnya. Kata yang mirip dalam bahasa kita adalah dugaan
kuat.
5. Al-Wahm, maksudnya
adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan salahnya lebih besar dari pada
benarnya. Atau mirip dengan dugaan lemah atau salah paham.
6.
Asy-Syakk, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar dan
salahnya seimbang.
[Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18-19), Syarh Ushul min
‘Ilmil Ushul (hal.
71-72), Ushul Fiqh
Terjemah (hal. 25),
dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
16-17)]
KEWAJIBAN
MENUNTUT ILMU
Ilmu adalah sayyidul ‘amal (penghulunya
amal), sehingga tidak ada satu amalan pun yang dilakukan tanpa didasari dengan
ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah yang telah disepakati ummat,
اَلْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ .
“Ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat.”
[Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilmu, Bab Al-‘Ilmu
Qablal Qaul wal ‘Amal (I/119)]
Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa
akan menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, Islam
mewajibkan ummatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Dan
hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”
[Hadits shahih li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Majah (no.
224), dari jalur Anas bin Malikradhiyallahu’anhu. Hadits ini diriwayatkan pula oleh
sekelompok para shahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas,
‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudriy, Al-Husain bin
‘Ali, dan Jabir radhiyallahu’anhum. Para ulama ahli hadits telah
menerangkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab-kitab mereka, seperti: Imam
As-Suyuthi dalam kitab Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala Kulli
Muslimin, Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Wahiyat (I/67-71), Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam
kitab Jami’ Bayanil
‘Ilmi wa Fadhlihi(I/69-97), dan Syaikh Al-Albani dalam kitab Takhrij
Musykilah Al-Faqr (hal.
48-62)]
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang terhadap ilmu
lebih besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti pernah
dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
الناس إلي العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأنهم يحتاجون إليها
في اليوم مرة أو مرتين وحاجتهم إلي العلم بعدد اأنفاسهم
“Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada
(mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya
dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang
nafasnya.” [Lihat Thabaqat
Al-Hanabilah (I/146),Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 91), dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
55-56)]
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendakwahkan Islam kepada para
Shahabat atas dasar ilmu. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah
berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ
أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ …
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf: 108)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenyeru manusia
kepada agama Allah atas dasar ilmu (بصيرة ), keyakinan (يقين ), dalil syar’i
(برهان شرعي ), dan dalil aqli (عقلي ). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/422)]
ILMU YANG
WAJIB DICARI
Tidak setiap ilmu boleh untuk dicari dan dipelajari, sebab ada
ilmu yang dilarang untuk dipelajari. Hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang
boleh untuk dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati
kedudukan yang terpuji, seperti kisah Nabi Adam ‘alaihis salam yang diajarkan oleh Allah Ta’ala tentang nama-nama segala sesuatu,
kemudian Nabi Adam memberitahukannya kepada para Malaikat dan para Malaikat pun
berkata,
قَالُوا سُبْحَـنَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَاعَلَّمْتَنَآۖ
إِنَكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Artinya: “Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya
Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (Qs. Al-Baqarah: 32)
Demikian juga disebutkan dalam kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salam,
sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala berikut,
فَوَجَدَا عَبْـدًا مِّنْ عِبَـادِنَـآاَتَيْنَـهُ رَحْمَةً مِّنْ
عِنْـدِنَـا وَعَلَّمْنَـهُ مِنْ لَّـدُنَّا عِلْمًا قَالَ لَهُ مُوسَى هَـلْ
أَتَّبِعُـكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْـدًا
Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya.
‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?’” (Qs. Al-Kahfi: 65-66)
Semua ayat di atas berbicara tentang ilmu yang bermanfaat.
Hanya saja, tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari ilmu
yang bermanfaat ini. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan
tentang keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, tetapi ilmu yang ada pada
mereka tidak memberi manfaat sama sekali bagi mereka. Padahal, ilmu yang mereka
miliki adalah ilmu yang bermanfaat, namun demikian mereka tidak dapat mengambil
manfaat dari ilmu tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla Dzikruhu,
مَثَـلُ الَّذِيْنَ حُـمِّلُوا التَّوْرَىةَ ثُـمَّ لَـمْ
يَحْـمِلُوهَاكَمَـثَـلِ الْحِـمَارِ يَحْمِـلُ أَسْفَـارَاۚ بِئْـسَ مَثَـلُ
الْقَـوْمِ الَّذِيْنَ كَـذَّ بُوْا بِـئَا يَتِ اللهِۚ وَاللهُ لاَ يَهْـدِى
الْقَـوْمَ الظَّـلِمِيْنَ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat,
kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai
yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim.” (Qs.
Al-Jumu’ah: 5)
Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi
penyakit dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke
dalam kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya.
Selain itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan. Ilmu
tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia
apalagi di akhirat. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَيَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ
وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ
وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ
عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا
شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (١٠٢)
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak
memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang
menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di
akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan
sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Yahya bin ‘Ammar rahimahullah pernah
berkata, “Ilmu itu ada
lima (jenis), yaitu: (1) ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu
ilmu tauhid; (2) ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits; (3) ilmu yang menjadi
obat (penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa. Ketika seseorang tertimpa sebuah
musibah maka ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah
tersebut, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. (4)
ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan (5)
ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang
semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa
(X/145-146), Siyar A’lamin Nubala’ (XVII/482), dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
28-29)]
Demikianlah perbedaan antara ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang
tidak bermanfaat.
Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang
diturunkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam berupa
keterangan dan petunjuk, dimana mempelajari ilmu ini berhak mendapatkan pujian
dan sanjungan. [LihatKitabul ‘Ilmi (hal. 13), Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
15), Bahjatun
Nazhirin (II/461),
dan Syarah
Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/281)]
Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu (yang
bermanfaat) adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dan apa saja yang datang bukan dari salah seorang dikalangan mereka
maka itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat).” [Lihat Jami’ Bayanil
‘Ilmi (I/500,
no. 1067 dan I/617, no. 1421), Fadhlu ‘Ilmi Salaf (hal. 42), Bahjatun
Nazhirin(II/461), Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/283), dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
16 dan 22)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun
pernah berkata, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang
bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu
hitung (matematika), ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [Lihat Majmu’
Al-Fatawa (VI/388
dan XIII/136), Madarijus Salikin (II/488), dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
20-21)]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah pernah berkata, “Ilmu adalah
firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan
para Shahabat.” [Lihat I’lamul
Muwaqqi’in (II/149)
dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
22)]
Adapun ilmu yang bersifat keduniawian, seperti ilmu kedokteran,
ilmu pertanian, ilmu ekonomi, dan yang lainnya, ada yang sangat dibutuhkan
ummat Muslim. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk dalam kategori ilmu
syar’i, sebagaimana disebutkan dalam dalil yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Karena itu, hukum menuntut ilmu duniawi tergantung kepada tujuan dan
kebutuhannya, apabila tujuannya adalah untuk ketaatan kepada Allah maka hal itu
akan menjadi baik dan apabila dengan mempelajarinya dapat memenuhi kebutuhan
kaum muslimin maka hal itu dapat menjadi wajib. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13-14)]
Dengan demikian, kita dapat membagi hukum menuntut ilmu menjadi
tiga, yaitu:
1. Fardhu ‘ain, dimana
hukumnya adalah wajib untuk diketahui oleh setiap individu. Ilmu yang tercakup
dalam hukum ini adalah semua ilmu syar’i yang yang menjadi pengetahuan dasar
tentang agama, baik permasalahan ushul (asas)
seperti akidah, tauhid dan manhaj, sampai permasalahan furu’ (cabang) seperti shalat, zakat,
sedekah, haji, dan semisalnya.
2. Fardhu kifayah, dimana
hukumnya tidak wajib atas setiap individu, sebab tidak mungkin semua orang
dapat mempelajarinya. Kalaupun diwajibkan atas setiap individu, tidak semua orang
dapat melakukannya, bahkan mungkin saja dapat menghambat jalan hidup mereka.
Oleh karena itu, hanya sebagian orang saja yang diberi kemudahan oleh Allah
untuk mempelajarinya dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Apabila sebagian orang telah mengetahui dan mempelajarinya maka
gugurlah kewajiban lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun diantara mereka
yang mengetahui dan mempelajarinya, padahal mereka amat membutuhkan ilmu
tersebut maka mereka semua berdosa karenanya.
Contohnya adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu waris, ilmu
kedokteran, ilmu pertanian, ilmu fiqih, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya.
[Lihat Tafsir
Al-Qurthubi (VIII/187), Thariq ilal
‘Ilmi As-Subulun Naji’ah li Thalabil ‘Ulumin Nafi’ah (hal. 18-19), dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal.
6-7 dan 17)]
3. Haram, dimana
hukumnya terlarang untuk dicari dan dipelajari, karena akan membawa pelakunya
kepada kesesatan, kemaksiatan, bahkan kesyirikan kepada Allah Jalla wa ‘Ala.
Diantara ilmu yang termasuk dalam hukum ini adalah ilmu sihir. Sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَ يَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ
وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ
وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak
memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang
menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di
akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan
sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,
إِجْتَنِـبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَـاتِ، قَالُوا: يَـا رَسُولَ
اللهِ وَمَـاهُنَّ؟ قَـالَ: الشَّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَـتْلُ النَّفْسِ
الَّتِي حَرَّمَ اللهَ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَـا، وَأَكْلُ مَـالِ
الْيَتِيْـمِ، وَالتَّوَ لَّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَـذْفُ الْمُحْصَنَـاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ .
Artinya: “Hindarilah (oleh kalian) tujuh perkara yang membinasakan.’
Mereka bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan
Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang benar,
memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan
melempar tuduhan zina kepada wanita mukminah yang terjaga kesucian dan
kehormatannya dari perbuatan dosa dan mereka tidak mengetahui tentang hal
itu.’” [Hadits
shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2615), Muslim (no. 258), Abu Dawud (no.
2874), dan An-Nasa’i (no. 3673), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk
menjauhi sihir dan menjelaskan bahwa sihir termasuk dalam perbuatan dosa besar
yang membinasakan. Ini menunjukkan bahwa sihir dapat membinasakan pelakunya di
dunia maupun di akhirat. [Lihat Hukmus Sihri wal Kahanah (hal. 5)]
Tidak ada perbedaan bagi laki-laki maupun perempuan, mulai dari
orang tua ataupun anak-anak; pejabat atau karyawan; si kaya atau si miskin,
semuanya sama dalam kewajiban menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan ilmu tersebut, dia akan dapat mengetahui
dan mengamalkan berbagai amalan shalih dengan baik, yang amalan-amalan tersebut
akan dapat mengantarkannya ke Surga.
Dengan demikian, kita telah mengetahui bahwa ilmu yang wajib
untu dicari dan dipelajari oleh setiap Muslim adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang membahas tentang
perkara-perkara agama, mulai dari perkara yang berkaitan dengan hubungan
seorang hamba dengan Rabbnya sampai perkara yang berkaitan dengan hubungan
seorang hamba dengan makhluk Rabbnya. Sementara untuk ilmu keduniaan, meskipun
termasuk ke dalam ilmu yang bermanfaat, namun hukum mempelajarinya tidak sampai
kepada wajib dan keutamaannya juga tidak setara dengan keutamaan menuntut ilmu
syar’i.