Seketika, renungan ini hadir
terlintas di benak dan menyeruak diantaranya. Tiba-tiba ada bukan
karena dipaksakan, melainkan datang bersama semilir angin yang
memabukan. Menimbulkan sedikit keresahan, sekaligus kejengahan.
Menimbulkan beberapa tanda tanya, sekaligus jawabannya.
Waktu dari masa yang lalu
turut terlibat, mejelma sebagai bayangan yang tak pernah lalai barang se-detak pun. Kemudian ia berkawan baik dengan karibnya, sebut saja yang
bernama memori. Ya, renungan ini berasal dari sepenggal ingatan dari
masa kecil saya, dan mungkin juga masa kecil kalian yang sedang membaca
kalimat ini.
Memori dari satu dekade yang lalu ini hadir menjadi
sebuah prespektif. Karena ia bernama prespektif, maka kita diizinkan
untuk melihatnya dari masing-masing lensa yang kita miliki, yang juga
mungkin berbeda satu sama lain. Perbedaan adalah hal yang humanis,
apalagi sesuai dengan judul yang saya berikan 13 baris diatas kalimat
ini, tulisan ini hanyalah sekedar renungan. Bukan barisan
paragraf-paragraf argumentatif, apalagi persuasif. Maka kalian bebas
untuk melihatnya dari lensa yang kalian yakini.
Semakin kita beranjak dewasa, terkadang, bahkan sering, garis yang
berada diantara apa-apa yang baik dan buruk itu menjadi kabur. Bukan.
Bukan salah garisnya yang kemudian ia menjadi memudar. Garis itu tetap
berada ditempatnya dan tak beranjak kemana pun. Yang ada adalah fakta
bahwa pengelihatan kita akan garis itu yang menjadi semakin berkurang.
Seperti ketika melihat warna
hitam pekat, tidak lagi sepekat dulu. Hitam pekat itu mulai kehilangan
warna pekatannya. Atau seperti ketika yang seharusnya hitam kemudian
menjadi berwarna abu, lalu lama kelamaan ia memutih. Garis yang dulu
tegas membatasi antara hitam dan putih, yang dulu tidak membiarkan kedua
warna itu melewati masing-masing batasnya, semakin memudar seiring
bertambahnya waktu yang berjalan di hidup seseorang.
Rasanya, sewaktu usia TK hingga kisaran SD kelas 2 enggan melakukan kecurangan kecil macam mencontek. “Mencontek itu tidak boleh, mencontek itu dosa,” demikian yang ditanamkan oleh orang dewasa di sekitar. Seandainya pun dalam keadaan terjepit, dan sangat terpaksa melakukan hal curang tersebut, maka setelahnya rasa bersalah menjalar hingga saat tidur pun perasaan gelisah menjelma dalam bentuk mimpi.
Tapi lama kelamaan kata-kata “mencontek itu tidak boleh, mencontek itu dosa,” berubah menjadi sebuah pemikiran “mencontek dosa sih, tapi yang lain juga kok” kemudian berubah lagi menjadi “ mencontek dalam ulangan aja tidak mengapa asal tidak ketauan, berarti PR juga boleh dong” kalimat tersebut berubah berkali-kali hingga seseorang cukup kuat untuk tersadar mengambil sikap yang tepat bagaimana memperlakukan dirinya. Atau bahkan mungkin kalimat tersebut terus – menerus menjadi semakin toleran hingga mengubah seseorang yang ketika kecil sangat enggan mencontek namun setelah dewasa mampu menjadikan dirinya koruptor kelas kakap.
Apakah berarti garis yang memudar itu menandakan keburukan?
Sebuah kemunduran yang di alami satu pribadi dari waktu ke waktu?
Awalnya keyakinan mutlak untuk kata “ya”. Namun selang beberapa detik, kemudian saya tersadar bahwa tidak ada satu hal pun yang mutlak di dunia ini. Mungkin penyebab garis itu memudar adalah karena seiring bertambahnya pengalaman hidup, manusia menjadi terlalu toleran, terlalu tenggang rasa, terlalu memaklumi.
Sebenarnya itu hal baik,bukan?
Hanya saja sebagian manusia kurang cukup bijaksana untuk menempatkan toleransi nya. Ada kalanya kita perlu sedikit mengaburkan “garis”, kadang kala tidak perlu sama sekali, dan disatu waktu bahkan mungkin “garis” tersebut perlu ditiadakan seutuhnya..
Marilah kita merenungi segala yang sudah terjadi yang terasa kurang baik..!!
Created by Kadep. Humas (Khoiruddin)
0 comments:
Post a Comment