Wednesday, October 28, 2015

     

Assalamu'ailaikum wr.wb
      Islam mengajarkan begitu banyak hal dalam kehidupan sehari-hari salah satunya adalah bagaimana mengelola sumber daya manusia yg utamanya untuk kesejahteraan umat dan kemajuan islam tersendiri. 
     Pengelolaan Sumber Daya Manusia menurut Islam Dalam Islam pengelolaan sumber daya manusia mengacu pada apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW didasarkan pada konsep Islam mengenai manusia itu sendiri. Konsep Pertama: Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan. Oleh karena itu segala kegiatan manusia harus merupakan bentuk ibadah, ibadah dalam arti luas, tidak hanya ibadah yang bersifat ritual.Setiap kegiatan manusia bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk mencari ke-ridlo-an Tuhan. Bermasyarakat yang baik adalah ibadah, bekerja dengan giat merupakan ibadah, bahkan tidur pun bisa bernilai ibadah. Konsep kedua: Manusia adalah khalifatullah fil ardhli – wakil Allah di bumi, yang bertugas memakmurkan bumi. Konsekuensi dari kedua konsep ini adalah segala kegiatan manusia akan dinilai dan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.Dengan konsep tersebut Islam memandang bahwa masalah memange manusia bukan masalah yang sepele.Islam mengusahakan sumber daya manusia untuk ikut memakmurkan bumi dalam lingkup pengabdian kepada Tuhan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin potensi yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Dalam hal recruitment & selection, beliau sangat mementingkan profesionalisme. Beliau bersabda, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)-nya.” (HR Bukhari dan Ahmad). Rasulullah juga bersabda, “Siapa yang mengangkat seseorang sebagai pegawai dari suatu kaum, padahal pada kaum itu terdapat seseorang yang diridhai Allah (cakap, soleh dan beriman) maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. (HR al-Hakim).

Rasulullah sangat memperhatikan masalah remunerasi.Dalam hadis riwayat Abdur-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w.bersabda: “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” Sedangkan dalam Hadis Riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” Hasan Langgulung mengemukakan beberapa pemikirannya tentang strategi pendidikan Islam dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia diantaranya dapat di tempuh melalui dari dua model, yaitu strategi pendidikan yang bersifat makro dan strategi pendidikan yang bersifat mikro.Strategi yang bersifat makro terdiri dari tiga komponen utama, yaitu pertama, tujuan pendidikan Islam yang mencakup pembentukan insan shaleh dan masyarakat shaleh. Kedua, dasar-dasar pokok pendidikan Islam yang menjadi landasan kurikulum terdiri dari 8 aspek; keutuhan, keterpaduan, kesinambungan, keaslian, bersifat ilmiah, bersifat praktikal, kesetiakawanan, dan keterbukaan. Ketiga, prioritas dalam tindakan yang meliputi penyerapan semua anak-anak yang mencapai usia sekolah, kepelbagaian jalur perkembangan, meninjau kembali materi dan metode pendidikan, pengukuhan pendidikan agama, administrasi dan perencanaan, dan kerja sama regional dan antar negara di dalam dunia Islam. Sedangkan strategi yang bersifat mikro hanya terdiri dari satu komponen saja, yaitu tazkiyah al-nafs (pembersihan jiwa). Tazkiyah itu bertujuan membentuk tingkah laku baru yang dapat menyimbangkan roh, akal, dan badan seseorang Dalam hubungannya dengan organizational management, Rasulullah adalah manager yang piawai dalam mendelegasikan suatu tugas kepada para sahabatnya.Kemampuan pendelegasian yang baik ini dikarenakan beliau sangat mengenal karakter, potensi dan (minat) masing-masing sahabatnya. Ada yang menarik dalam sejarah Islam, Umar bin Khatab adalah seorang yang tinggi besar, kuat serta pandai berperang. Akan tetapi Umar tak pernah diangkat menjadi panglima perang. Justru Usamah, pemuda 16 tahun, pernah ditugaskan menjadi seorang panglima perang. Itu karena Rasulullah paham, bahwa selain memiliki kompetensi dalam berperang, Umar memiliki kompetensi sebagai seorang pemimpin (khalifah). Dan ia disiapkan untuk itu. Rasulullah juga telah mencontohkan implementasi Participative Management.Beliau kerap melibatkan para sahabatnya dalam pengambilan keputusan.Contoh yang monumental tentang manajemen partisipatif ini bisa dilihat dari keberhasilan Rasul dan sahabat dalam perang Khandaq.Di samping itu, Rasulullah juga sangat piawai dalam memberikan motivasi kepada sahabatnya secara tepat sesuai keadaan sahabatnya.Beliau tidak hanya memotivasi untuk masalah akhirat saja, Beliau juga memotivasi para sahabatnya untuk selalu optimal di semua posisi dan peran kehidupan masing-masing.Yang menarik adalah Rasulullah memberikan perhatian yang istimewa kepada semua sahabatnya, sehingga diriwayatkan bahwa setiap sahabat merasa bahwa dia adalah orang yang paling diperhatikan dan dicintai Rasul-Nya.Inilah salah satu bentuk immaterial compensation yang dicontohkan oleh Rasulullah.Pada praktiknya, Rasulullah tidak hanya sebagai seorang manager, beliau adalah seorang leader.Dan lebih dari itu, beliau tidak hanya menjadi seorang leader, tetapi leader yang mampu mencetak leader-leader unggul.Hal ini bisa dilihat dari jejak khulafaur rasyidin dan semua sahabatnya.
semoga ada hal yang dapat dijadikan pengetahuan tambahan untuk kita semua..
       Wassalamu'alaikum wr.wb

Friday, October 16, 2015


Menanam pohon sebagai investasi tiket masuk surga bukan kalimat yang berlebihan. Dengan menanam pohon tanpa kita sadari kita pun telah menanam investasi jangka panjang untuk memperoleh tiket masuk surga. Bahkan ketika kita telah meninggal pun pahala dari menanam pohon ini (insha Allah) akan terus mengalir.
Sebatang pohon yang ditanam dan dirawat hingga tumbuh akan memberikan manfaat yang besar. Bukan hanya untuk orang yang menanam pohon saja namun juga kepada orang-orang di sekitar pohon. Bahkan kepada berbagai makhluk dan organisme lainnya.
Sebagian kecil manfaat dari sebatang pohon di antaranya adalah:
§   Pohon menghasilkan oksigen. Rata-rata sebatang pohon mampu menghasilkan oksigen hingga 1,2 kg perhari. Bahkan sebatang pohon trembesi mampu menghasilkan 78 kg O2 perharinya (28,48 ton/tahun). Padahal seorang manusia rata-rata menghirup 0,5 kg O2 perharinya. Berapa banyak manusia dan hewan yang terbantu dari sebatang pohon?.
§   Akar pohon menyerap air hujan ke tanah, mencegah air meluap menjadi banjir saat musim penghujan dan mengikat air sehingga menjadi cadangan air tanah yang dapat digunakan hingga musim kemarau. Setiap orang membutuhkan air untuk minum dan aneka kebutuhan lainnya termasuk untuk bersuci (wudlu).
§  Pohon menghasilkan buah, daun, batang, kayu, akar, dan biji yang dapat dimakan dan dimanfaatkan.
§   Pohon pun menjadi tempat tinggal dan mencari makan berbagai organisme mulai dari burungkupu-kupuulat bulu, bahkan organisme-organisme yang tidak kasat mata.
   Dari sedikit manfaat itu saja bisa kita bayangkan berapa banyak orang perharinya yang mendapatkan manfaat dari sebatang pohon yang telah kita tanam. Seandainya dibuat hitungan kasar; Dalam sehari pohon tersebut dimanfaatkan oleh 2 orang untuk bernafas, 1 orang untuk minum, dan 1 orang untuk wudlu bukankah kita telah bersedekah kepada 4 orang. Padahal pohon mampu hidup puluhan hingga ratusan tahun. Semakin banyak yang memperoleh manfaat bukankah pahala yang kita terima akan semakin besar dan tiket masuk surga.

Menanam Pohon Sebagai Shodaqoh Jariyah. Menanam pohon dapat dianggap sebagai sedekah (shodaqoh) jariyah layaknya menyumbang pembangunan masjid, maupun mewakafkan tanah. Apalagi jika penanaman pohon itu memang dimaksudkan untuk kepentingan umum seperti menanam pohon di tepi jalan atau hutan (Perlu diingathari lingkungan hidup 2011 ini mengambil tema “Hutan Penyangga Kehidupan”).
    Shodaqoh jariyah mempunyai arti memberikan harta benda miliknya di jalan Allah yang mempunyai manfaat hingga jangka panjang. Apa harta benda yang kita berikan saat menanam pohon? Benih, tenaga, dan biaya menanam dan merawat pohon itu. Di jalan Allah?. Pohon menguragi pencemaran udara sehingga udara yang dihirup membuat orang mampu mencari nafkah. Air menjadikan orang dapat bersuci hingga bisa melaksanakan ibadah.
      Padahal saya pernah mendengar sebuah hadits sahih yang berbunyi “ketika seorang anak adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yang pahala dari amal itu tetap mengalir walau dia telah meninggal dunia, yang pertama dalah shodaqoh jariah, yang kedua adalah ilmu yang bermanfaat, dan yang ketiga adalah anak yang sholih dan sholihah yang mau mendoakan kedua orang tuanya” (H.R Muslim).
     Dari hadits Rasulullah tersebut mengandung arti bahwa ibadah seperti salat, puasa, haji dan lainnya akan terputus amalnya ketika orang tersebut meninggal karena begitu meninggal seseorang itu pastinya tidak akan bisa salat, puasa maupun haji. Namun ada tiga jenis ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim, yang meski pun dia sudah wafat, pahala ibadah itu tetap saja terus mengalir kepadanya. Tiga ibadah itu adalah anak sholeh yang selalu mendoakannya, ilmu yang bermanfaat, dan shodaqoh jariyah.
    Seperti halnya sobat membangun masjid di mana selama masjid itu masih digunakan untuk ibadah sobat memperoleh pahala atau dengan memyumbangkan kursi roda ke rumah sakit di mana setiap orang sakit menggunakannya sobat mendapat pahala, saat sobat menanam pohon pun sama. Setiap orang berteduh di bawahnya, menghirup oksigen yang dihasilkannya, meminum air yang disimpannya setiap itu pula (insa Allah) sobat memperoleh pahala.
Sungguh nikmat ketika kita telah meninggal namun point-point pahala kita terus bertambah lantaran sebatang pohon yang dengan ikhlas kita tanam dan rawat hingga tumbuh terus memberikan manfaat. Sebuah investasi tanpa henti untuk memperoleh tiket surga.

admin
cc alamendah.org


Saturday, October 10, 2015

     

        Diantara sekian banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan, ada satu nikmat yang melandasi datangnya nikmat-nikmat yang lain, yaitu ilmu. Sebab dengan ilmu, seseorang akan dapat memahami berbagai hal dan karena ilmu juga, seseorang akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, juga di kalangan manusia. Terutama jika disertai dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Baik dia seorang budak atau orang merdeka; seorang bawahan atau atasan; seorang rakyat jelata ataupun para raja. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَاقِيْـلَ لَكُمْ تَفَـسَّحُوْافِيْ الْمَجَلِسِ فَافْـسَحُوا يَفْـسَحِ اللهُ لَكُمْۖ وَإِذَا قِيْـلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبْيْرٌ ۝
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.”(Qs. Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ .
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]
Dalil di atas dengan menegaskan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkannya maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla menolak persamaan antara orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Sebagaimana Dia menolak persamaan antara para penghuni Surga dengan para penghuni Neraka. Allah berfirman,
قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُونَۗ … ۝
Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)
Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada hakikatnya mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu tidak akan pernah setara kedudukannya. Yang dapat memahami maksud tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai ilmu, kedudukan dan keutamannya. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/284)]
Sementara itu, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan,
لاَيَسْتَوِى أَصْحَبُ النَّارِ وَأَصْحَبُ الْجَنَّةِۗ … ۝
Artinya: “Tidak sama (antara) para penghuni Neraka dengan para penghuni Surga…” (Qs. Al-Hasyr: 20)
Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu. Bahkan, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَسْـئَلُوْنَكَ مَاذَآ أُحِـلَّ لَهُمْۗ قُلْ أَحِـلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَتُ وَمَاعَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَـلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَـكُلُوْا مِمَّآ أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوااسْمَ اللهِ عَلَيْهِۖ وَاتَّقُوااللهَۗ إِنَّ اللهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ۝
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.’”(Qs. Al-Ma’idah: 4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu dan diberi kedudukan yang berbeda dengan binatang yang tidak berilmu. Seandainya bukan karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih statusnya sama, yakni haram hukumnya untuk dikonsumsi. Akan tetapi, hewan yang ditangkap anjing pemburu statusnya halal, tidak sebagaimana hasil buruan anjing liar.
Jika kedudukan binatang saja bisa mengalami kenaikan karena ilmu, bagaimana halnya dengan kedudukan seorang manusia yang jelas-jelas kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia dari pada binatang?
Pada kesempatan kali ini, dengan memohon taufik kepada Allah Jalla Dzikruhu,penulis akan menghadirkan pembahasan mengenai nikmat dan keutamaan para pemilik ilmu beserta dengan hukum dan macam-macam ilmu dalam tinjauan syari’at.
DEFINISI ILMU DAN TINGKATANNYA
Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan pengetahuan yang sebenarnya. [Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 75), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 24), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16)]
Ilmu pada hakikatnya terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu dharuri, adalah pengetahuan tentang suatu hal tanpa memerlukan penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil (keterangan). Contohnya: pengetahuan bahwa api itu panas.
2. Ilmu nazhari, adalah pengetahuan tentang suatu hal yang didahului oleh penelitian dan pembuktian dengan menggunakan dalil. Contohnya: pengetahuan tentang tata cara wudhu dan shalat.
Adapun tingkatan ilmu yang dimiliki oleh seseorang terbagi dalam enam tingkatan, yaitu:
1. Al-‘Ilmu, maksudnya adalah mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
2. Al-Jahlul Basith, maksudnya adalah tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, sama sekali.
3. Al-Jahlul Murakkab, maksudnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu hal tertentu, namun dia mengaku memiliki pengetahuan tentang itu, padahal keliru dan tidak sesuai dengan realita. Disebut murakkab yang artinya bertingkat, karena terdapat dua kebodohan sekaligus pada orang tersebut, yaitu bodoh karena dia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena dia beranggapan bahwa dia mengetahui yang sebenarnya, padahal dia tidak mengetahui.
4. Azh-Zhann, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar dari pada salahnya. Kata yang mirip dalam bahasa kita adalah dugaan kuat.
5. Al-Wahm, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan salahnya lebih besar dari pada benarnya. Atau mirip dengan dugaan lemah atau salah paham.
6. Asy-Syakk, maksudnya adalah mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar dan salahnya seimbang.
[Lihat Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 18-19), Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 71-72), Ushul Fiqh Terjemah (hal. 25), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16-17)]
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Ilmu adalah sayyidul ‘amal (penghulunya amal), sehingga tidak ada satu amalan pun yang dilakukan tanpa didasari dengan ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah yang telah disepakati ummat,
اَلْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ .
Ilmu dahulu sebelum berkata dan berbuat.”
[Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilmu, Bab Al-‘Ilmu Qablal Qaul wal ‘Amal (I/119)]
Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa akan menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, Islam mewajibkan ummatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Dan hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .
Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”
[Hadits shahih li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Majah (no. 224), dari jalur Anas bin Malikradhiyallahu’anhu. Hadits ini diriwayatkan pula oleh sekelompok para shahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudriy, Al-Husain bin ‘Ali, dan Jabir radhiyallahu’anhum. Para ulama ahli hadits telah menerangkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab-kitab mereka, seperti: Imam As-Suyuthi dalam kitab Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala Kulli Muslimin, Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Wahiyat (I/67-71), Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi(I/69-97), dan Syaikh Al-Albani dalam kitab Takhrij Musykilah Al-Faqr (hal. 48-62)]
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang terhadap ilmu lebih besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti pernah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
الناس إلي العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأنهم يحتاجون إليها في اليوم مرة أو مرتين وحاجتهم إلي العلم بعدد اأنفاسهم
Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada (mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang nafasnya.” [Lihat Thabaqat Al-Hanabilah (I/146),Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 91), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 55-56)]
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendakwahkan Islam kepada para Shahabat atas dasar ilmu. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ … ۝
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf: 108)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenyeru manusia kepada agama Allah atas dasar ilmu (بصيرة ), keyakinan (يقين ), dalil syar’i (برهان شرعي ), dan dalil aqli (عقلي ). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/422)]
ILMU YANG WAJIB DICARI
Tidak setiap ilmu boleh untuk dicari dan dipelajari, sebab ada ilmu yang dilarang untuk dipelajari. Hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang boleh untuk dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati kedudukan yang terpuji, seperti kisah Nabi Adam ‘alaihis salam yang diajarkan oleh Allah Ta’ala tentang nama-nama segala sesuatu, kemudian Nabi Adam memberitahukannya kepada para Malaikat dan para Malaikat pun berkata,
قَالُوا سُبْحَـنَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَاعَلَّمْتَنَآۖ إِنَكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ ۝
Artinya: “Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (Qs. Al-Baqarah: 32)
Demikian juga disebutkan dalam kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salam, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala berikut,
فَوَجَدَا عَبْـدًا مِّنْ عِبَـادِنَـآاَتَيْنَـهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْـدِنَـا وَعَلَّمْنَـهُ مِنْ لَّـدُنَّا عِلْمًا ۝ قَالَ لَهُ مُوسَى هَـلْ أَتَّبِعُـكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْـدًا ۝
Artinya: “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya. ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?’” (Qs. Al-Kahfi: 65-66)
Semua ayat di atas berbicara tentang ilmu yang bermanfaat.
Hanya saja, tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari ilmu yang bermanfaat ini. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan tentang keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, tetapi ilmu yang ada pada mereka tidak memberi manfaat sama sekali bagi mereka. Padahal, ilmu yang mereka miliki adalah ilmu yang bermanfaat, namun demikian mereka tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla Dzikruhu,
مَثَـلُ الَّذِيْنَ حُـمِّلُوا التَّوْرَىةَ ثُـمَّ لَـمْ يَحْـمِلُوهَاكَمَـثَـلِ الْحِـمَارِ يَحْمِـلُ أَسْفَـارَاۚ بِئْـسَ مَثَـلُ الْقَـوْمِ الَّذِيْنَ كَـذَّ بُوْا بِـئَا يَتِ اللهِۚ وَاللهُ لاَ يَهْـدِى الْقَـوْمَ الظَّـلِمِيْنَ ۝
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Qs. Al-Jumu’ah: 5)
Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi penyakit dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya. Selain itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan. Ilmu tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia apalagi di akhirat. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَيَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ ۝
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (١٠٢)
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Yahya bin ‘Ammar rahimahullah pernah berkata, “Ilmu itu ada lima (jenis), yaitu: (1) ilmu yang menjadi ruh (kehidupan) bagi agama, yaitu ilmu tauhid; (2) ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna-makna Al-Qur’an dan hadits; (3) ilmu yang menjadi obat (penyembuh) bagi agama, yaitu ilmu fatwa. Ketika seseorang tertimpa sebuah musibah maka ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah tersebut, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. (4) ilmu yang menjadi penyakit dalam agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan (5) ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (X/145-146), Siyar A’lamin Nubala’ (XVII/482), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 28-29)]
Demikianlah perbedaan antara ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.
Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diturunkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa keterangan dan petunjuk, dimana mempelajari ilmu ini berhak mendapatkan pujian dan sanjungan. [LihatKitabul ‘Ilmi (hal. 13), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 15), Bahjatun Nazhirin (II/461), dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/281)]
Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu (yang bermanfaat) adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan apa saja yang datang bukan dari salah seorang dikalangan mereka maka itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat).” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/500, no. 1067 dan I/617, no. 1421), Fadhlu ‘Ilmi Salaf (hal. 42), Bahjatun Nazhirin(II/461), Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/283), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 16 dan 22)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pun pernah berkata, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung (matematika), ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (VI/388 dan XIII/136), Madarijus Salikin (II/488), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 20-21)]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah pernah berkata, “Ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat.” [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (II/149) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 22)]
Adapun ilmu yang bersifat keduniawian, seperti ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu ekonomi, dan yang lainnya, ada yang sangat dibutuhkan ummat Muslim. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk dalam kategori ilmu syar’i, sebagaimana disebutkan dalam dalil yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, hukum menuntut ilmu duniawi tergantung kepada tujuan dan kebutuhannya, apabila tujuannya adalah untuk ketaatan kepada Allah maka hal itu akan menjadi baik dan apabila dengan mempelajarinya dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin maka hal itu dapat menjadi wajib. [Lihat Kitabul ‘Ilmi (hal. 13-14)]
Dengan demikian, kita dapat membagi hukum menuntut ilmu menjadi tiga, yaitu:
1. Fardhu ‘ain, dimana hukumnya adalah wajib untuk diketahui oleh setiap individu. Ilmu yang tercakup dalam hukum ini adalah semua ilmu syar’i yang yang menjadi pengetahuan dasar tentang agama, baik permasalahan ushul (asas) seperti akidah, tauhid dan manhaj, sampai permasalahan furu’ (cabang) seperti shalat, zakat, sedekah, haji, dan semisalnya.
2. Fardhu kifayah, dimana hukumnya tidak wajib atas setiap individu, sebab tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya. Kalaupun diwajibkan atas setiap individu, tidak semua orang dapat melakukannya, bahkan mungkin saja dapat menghambat jalan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya sebagian orang saja yang diberi kemudahan oleh Allah untuk mempelajarinya dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Apabila sebagian orang telah mengetahui dan mempelajarinya maka gugurlah kewajiban lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengetahui dan mempelajarinya, padahal mereka amat membutuhkan ilmu tersebut maka mereka semua berdosa karenanya.
Contohnya adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu waris, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu fiqih, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya. [Lihat Tafsir Al-Qurthubi (VIII/187), Thariq ilal ‘Ilmi As-Subulun Naji’ah li Thalabil ‘Ulumin Nafi’ah (hal. 18-19), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 6-7 dan 17)]
3. Haram, dimana hukumnya terlarang untuk dicari dan dipelajari, karena akan membawa pelakunya kepada kesesatan, kemaksiatan, bahkan kesyirikan kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Diantara ilmu yang termasuk dalam hukum ini adalah ilmu sihir. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَ يَتَعَـلَّمُونَ مَـا يَضُـرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْۚ وَلَقَـدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَىهُ مَالَهُ فَى الْأَخِـرَةِ مِنْ خَلَقِۚ وَلَبِئْسَ مَاشَـرَوْا بِهِ أَنْفُـسَـهُمْۚ لَوْكَـانُوْا يَعْـلَمُونَ ۝
Artinya: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,
إِجْتَنِـبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَـاتِ، قَالُوا: يَـا رَسُولَ اللهِ وَمَـاهُنَّ؟ قَـالَ: الشَّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَـتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهَ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَـا، وَأَكْلُ مَـالِ الْيَتِيْـمِ، وَالتَّوَ لَّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَـذْفُ الْمُحْصَنَـاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ .
Artinya: “Hindarilah (oleh kalian) tujuh perkara yang membinasakan.’ Mereka bertanya, ‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan melempar tuduhan zina kepada wanita mukminah yang terjaga kesucian dan kehormatannya dari perbuatan dosa dan mereka tidak mengetahui tentang hal itu.’” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2615), Muslim (no. 258), Abu Dawud (no. 2874), dan An-Nasa’i (no. 3673), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjauhi sihir dan menjelaskan bahwa sihir termasuk dalam perbuatan dosa besar yang membinasakan. Ini menunjukkan bahwa sihir dapat membinasakan pelakunya di dunia maupun di akhirat. [Lihat Hukmus Sihri wal Kahanah (hal. 5)]
Tidak ada perbedaan bagi laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua ataupun anak-anak; pejabat atau karyawan; si kaya atau si miskin, semuanya sama dalam kewajiban menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan ilmu tersebut, dia akan dapat mengetahui dan mengamalkan berbagai amalan shalih dengan baik, yang amalan-amalan tersebut akan dapat mengantarkannya ke Surga.
Dengan demikian, kita telah mengetahui bahwa ilmu yang wajib untu dicari dan dipelajari oleh setiap Muslim adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang membahas tentang perkara-perkara agama, mulai dari perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya sampai perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan makhluk Rabbnya. Sementara untuk ilmu keduniaan, meskipun termasuk ke dalam ilmu yang bermanfaat, namun hukum mempelajarinya tidak sampai kepada wajib dan keutamaannya juga tidak setara dengan keutamaan menuntut ilmu syar’i.

(Muslimah.or.id)


Ingat waktu

Categories

Comments

Pages

Selamat Anda Pengunjung ke

Popular Posts

Hikmah Bersaudara

facebook