Sore itu terik terasa, tak seperti biasa. Ternyata sang
mentari masih istomah menyinari bumi dengan kehangatannya. Inilah dia
perkumpulan orang-orang yang Insya Alloh dirindukan Malaikat para penghuni
lagit dan ikan-ikan yang ada dilautan. Terpatri bahwa itu Lembaga Dakwah.
Seorang Ustad duduk di beranda mushola. Ya ustad Andre
namanya atau biasa di panggil kak Andre. Mencoba membaringkan tubuhnya yang
begitu letih dan mencoba mensyukuri kehangatan fajar yang mulai meredup.
Seperti biasa dengan bahasa diamnya, tak banyak berkata. Sungguh diamnya sang
Ustd membuat sejuata pertanyaan dan presepsi bagi khalayak ramai.
Dihampirinya kak Andre oleh salah seorang yang bernama Usup.
Giat dalam berdakwahya membuat Aktivis lain terkagum dengannya. Memang Usup
adalah anak yang memiliki Ghiroh (semangat) dalam berdakwah, hampir seluruh hidupnya ia
fokuskan dan nyeburkan langsung dalam Dakwah. Baginya dakwah segala-galanya. Ia
cerdas, pandai, dan cekatan.
Usut punya usut ternyata Usup menyimpan unek2 dan pertanyaan yang menggelayut
di fikirannya. Ia mulai kelelahan dalam mengarungi bahtera dakwahnya dan
menyadari betul bahwah Usup semakin lama semakin letih karena kak Andre yang
biasanya selalu membantunya dalam berdakwah, menyusun strategi dalam kegiatan,
memberikan masukan dan nasehat, mulai tak nampak lagi.
Usup menyapa, ”kak saya dulu merasa bersemangat dalam
berdakwah. Tapi belakangan rasanya
semakin hambar. Ukhuwah semakin kering. Kekompakan tak lagi terlihat. Dan
bahkan ane melihat atum tak lagi seperti dulu kak”. Potong Usup dikalimatnya “Tapi sebelumnya ane minta
maaf dulu sama antum kak”.
“Ya lanjut aja akhi”. Jawabnya. “Belakangan ini ane melihat
antum seperti tidak lagi perduli dengan dakwah kita ini. Ane sedikit kecewa
dengan sikap antum yang semakin hari tak tampak dan diam seribu bahasa dan
seolah seperti tak lagi mau tau atas apa yang telah di programkan dalam dakwah
ini!?
Antum kemana aja?
jarang dateng suro?
gak pernah kumpul?
Antum kemana aja?
jarang dateng suro?
gak pernah kumpul?
Kak andre terus diam dan mencoba terus menggali kecamuk
dalam diri Usup. Ya tanpa sepatahkata pun hingga Usup pun terdiam. “lalu
langkah apa yang antum inginkah?” sahut kak Andre.
“Ane ingin kita itu sama-sama lagi dalam berdakwah dan tak
ada lagi program dakwah yang mandek dan tak terealisasikan”.
Kak Andre hanya diam saja. Tak tampak raut wajah terkejut
atau wajah memberikan jawaban. Sorot matanya tetap sayu. Seakan membiarkan
semuanya terjadi. Selang beberapa lama kak Andre angkat bicara dengan nada
terputus-putusnya ia katakan “wasbir akhi (Sabar sudaraku), inilah dakwah
dengan segala lika-likunya dan setiap marhalah (tingkatan) itu ada masalahnya”.
seakan tak memberikan jawaban Usup pun mencoba meninggalkan dengan kak Andre dengan raut kecewa.
seakan tak memberikan jawaban Usup pun mencoba meninggalkan dengan kak Andre dengan raut kecewa.
Dalam ketidak tahuannya Usup, kak Andre mencoba membuat
surat agar tabayunnya dapat memberi titik temu dan jawaban.
sampainya surat langsung di baca oleh si Usup.
sampainya surat langsung di baca oleh si Usup.
“Assalamualaikum akhi
fillah...
semoga selalu dalam lindungan Alloh, tak lupa kita berdoa untuk langkah dakwah ini agar selalu diRidhoi oleh sang Rabbul Izzati.
semoga selalu dalam lindungan Alloh, tak lupa kita berdoa untuk langkah dakwah ini agar selalu diRidhoi oleh sang Rabbul Izzati.
Maafkan daku akhi fillah
Usup, ana tertegun. Sungguh masih terus menggantung rasa bersalah ana di hati,
dan menjadi ganjalan dalam hati atas pertanya-pertanyaan atum dan kegelisahan
antum atas sikapnya ana selama ini. Barakallah atas tegura atum terhadap ana.
Artinya masih ada yang perduli dengan perjalanan dakwah ini.
Akhi fillah kenapa ana
tidak menjawab saat antum bertanya diwaktu yang lalu, karena ana takut dalam
memberikan jawaban nantinya kepada antum dapat memunculkan presepsi bahwa ana
mengeluh dalam berdakwah ini. Karena sejatinya, lisan ini bisa membuat petaka
yang kita tidak sangka-sangka. Ada pesan Rasulullah yang selalu terjaga dalam
batin ini “kasrat kalam kasrat kizb” ya banyak berbicara itu akan banyak
memunculkan kesalahan.
Akhi fillah bukan ana
menghindar dari antum, tidak! sama sekali tidak!. Ana ingin mengutip sebuah
kisah, barangkali ini dapat menjadi perbincangan awal kita dalam bertabayun. Tetapi
sungguh ana katakan ‘jikalau tubuh ini mampu untukdibagi-bagi, maka ana akan lakukan agar tidak ada lagi amanah yang terzolimi’. Ya, ana tak mampu
mengatakannya, maka ana menuliskan surat ini. Karena keterbatasan ekspresi ana
tak dapat menjelaskan semuanya.
Dikisahkan ada seorang mad’u yang
megeluh terhadap murabbinya di suatu malam yang sunyi, tepatnya ketika mereka
melaksanakan mabit. Sang mad’u mengatakan di hadapan murabbinya “ana ingin
berhenti saja, keluar dari Organisasi ini. Ana kecewa dengan beberapa ikhwah
yang jika diberi amanah dalam berdakwah pada akhirnya kacau, segala yang ia
lakukan menjadi beban. Selalu ana yang bergerak sendiri, Ana kan kiyadahnya di
suruh kadang mala-malasan bahkan kadang membantah ucapan ana. Jika terus begini
ana ingin sendiri saja”.
Sang murabbi termenungkembali, tidak
tampak raut wajah terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya seakan terlihat
tenang dan seakan jawaban itu memang sudah diketahui sejak awal.
“akhi, bila suatu waktu antum menaiki sebuah kapal dilaut lepas. Kapal itu ternyata sudah amat bobro. Kabinnya tak layak, layarnya sudah pada bolong, kayunya banyak yang keropos yang lebih dikejutkan lagi kapal tersebut berbau kotoran manusia. Lalu apa yang antum lakukan untuk sampai ke tempat tujuan diseberang sana?”. Tanya sang murabbi yang kiasan makna yang dalam.
“akhi, bila suatu waktu antum menaiki sebuah kapal dilaut lepas. Kapal itu ternyata sudah amat bobro. Kabinnya tak layak, layarnya sudah pada bolong, kayunya banyak yang keropos yang lebih dikejutkan lagi kapal tersebut berbau kotoran manusia. Lalu apa yang antum lakukan untuk sampai ke tempat tujuan diseberang sana?”. Tanya sang murabbi yang kiasan makna yang dalam.
Sang mad’u berfikir. Tak kuasa
hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam dengan kiasan yang amat tepat. “apakah
antum akan terjun ke laut dan berenang sendiri sampai ketujuan?”. Murabbi
memberikan opsi.
“Bila antum terjun ke lautan sesaat antum merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, senang bermain dengan lumba-lumba. Tapi itu pun hanya sesaat, berapa kekuatan antum untuk berenang di lautan lepas hingga mencapai tujuan? Bagaimana bila ikan Hiu datang? Dari mana antum mendapatkan makan dan minum? Bila malam datang bagaimana antum mengatasi hawa dingin yang menusuk tubuh?” Berderet pertanyaan dihamparkan kepada sang mad’u.
“Bila antum terjun ke lautan sesaat antum merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, senang bermain dengan lumba-lumba. Tapi itu pun hanya sesaat, berapa kekuatan antum untuk berenang di lautan lepas hingga mencapai tujuan? Bagaimana bila ikan Hiu datang? Dari mana antum mendapatkan makan dan minum? Bila malam datang bagaimana antum mengatasi hawa dingin yang menusuk tubuh?” Berderet pertanyaan dihamparkan kepada sang mad’u.
Tak ayal. Tetesan itu jatuh juga dari
sang mad’u, seperti goncangan jendela yang tak kuat lagi menahan kaca yang
ingin lepas. Sang mad’u tersedu. Tak kuasa hatinya menahan kegundahan sedemikina.
Kekecewaannya sudah kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormati justru
tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Akhi apakan antum masih merasa jalan
dakwah adalah jalan yang paling utama dalam mencapai Mardotillah (Ridho Alloh)?”
pertanyaan menohok ini menghujam di jiwa mad’u. Ia hanya mengangguk saja. “bagaiman
jika mobil yang antum kendarai dalam sebuah perjalanan tiba-tiba mogok? Antum akan
berjalan kaki meninggalkan mobil itu ditengah jalan, atau antum akan
memperbaikinya? Pungkas pertanyaannya.
sang mad’u makin terdiam dalam sesenggukan tangisannya perlahan.
sang mad’u makin terdiam dalam sesenggukan tangisannya perlahan.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya,
"Cukup ustadz, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah.
Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap
kata-kata ana diperhatikan..."
"Biarlah yang lain dengan urusan
pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya
Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah
segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u
berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
Sang murabbi tersenyum. "Akhi,
jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya
banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang
mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk
berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik
pilihan Allah."
"Bila ada satu dua kelemahan dan
kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana
Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan
mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama
ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau
bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap
ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini
dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
"Kita bukan sekedar pengamat
yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah
kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah
da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk
membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi
justru semakin memperuncing masalah."
"Jangan sampai, kita seperti
menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa
menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang
kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
Tapi bagimana ana bisa memperbaiki
Organisasi ini dengan baik, sememtara ucapan ana jarang didengar, tak ada
kekompakan? sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
“siapa bilang mereka, tak
mendengarkan atum? Apa mereka meninggalkan antum? Atum di beri amanah kepada
mereka sebagai kiyadah karena mereka tau kapasitas antum. Termasuk juga mereka
memiliki kapasitas masing-masing. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik
dari yang lain!" sahut sang murabbi. "Bekerjalah
dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang
kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan
selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah
telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri
hati) antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan
budak hina menemui kemuliaannya." Suasana dialog itu mulai mencair.
Akhi fillah Usup
sungguh ana menuliskannya dalam rasa bersalah. Dan bendungan itu tak kuasa
menahan kejolak genangan yang telah ditahan, akhirnya sesekali menetes . Tapi
inilah ana dengan segala keterbatasan insaniyah. Maafkan ana yang belum bisa
seperti Ust Hasan Al Banna dalam berdakwah, yang mobitas dalam berdakwahnya tak
diragukan lagi. Yang mampu memberikan daurah di sekian Ratus klometer dari
tempat tinggalnya, dan paginya ia sambung di tempat lain dengan kuliah subuh,
dan di rasutusan kilometer lagi ia memberikan liqo kepada masyarakat dan dapat
memberikan pengaruh yang besar bagi shabab (pemuda) yang dijumpai.
Akhi fillah Usup
maafkan ana jika ana terlalaikan dalam amanah yang atum berikan, jarang hadir
dalam suro, diam seribu bahasa. Sekali lagi ana katakan ‘jikalau tubuh ini
mampu untuk dibagi-bagi, maka akan ana lakukan agar tidak ada lagi amanah
yang terzolimi’. Akhi fillah dalam diamnya ana bukan ana tak memikirkan dakwah
kita hanya saja di tempat lain ada amanah yang lebih membutuhkan ana. Sesungguhnya
ana ingin sekali kita berkumpul bersama membahas PR-PR dakwah kita. Tetapi saat
ini ana mulai di di hamparkan sebuah amanah yang itu ana harus memikirkannya
matang-matang, karena ana menjadi kiyadah disana. Sama seperti antum memimpin
insaniyah juga. Bahkan ana harus sesering kali melihat perkembangan dakwah di
Universitas lain dan itu bukan satu dua. Terlebih Universitas yang berada di
daerah-daerah dan bukan atum saja yang ana tinggalkan lebih buruknya
meninggalkan jam perkuliahan. Dan ana harus dihadapkan untuk mengikuti Rapat
kerja-kerja Dakwah di luar Propinsi, menyusun bagaimana kestabilan dakwah di
setiap daerah harus terjaga, menyiapkan sumberdaya manusia yang mempuni.
Akhi fillah Iman ini
agaknya bukan bongkahan batu karang yang tegak kokoh, dia hidup bagai cabang
menjulang dan dedaunan rimbun selalu tumbuh, dan menuntut akarnya, menggali
kian dalam, juga merindukan cahaya mentari, embun, dan udara pagi.
Tak banyak yang bisa ana ceritakan. Ini pun hanya sekedar tabayun terhadap kita. Ada Amniyah (Rahasia) lain yang belum ana bisa katakan kepada antum. Nanti sekiranya, amtum sudah faham dengan semua ini maka antum akan mengetahuinya sekalipun tanpa ana kisahkan. Karena bagi ana menunaikan amalan disaksikan Allah itu melegakan bagi jiwa. Tak perlu semuanya tau.
fahamilah kita ini bukan perkumpulan orang-orang yang menganggur, mengatur dengan jari telunjuk, bukan! Itu bukan kita!. Kita itu ‘Nahnu Du'aatun Qabla Kulli Syai'in’ ya tidak bisa di pungkiri kita ini da’i sebelum menjadi apapun. Sebenarnya banyak tuntutan seorang du’at di mana2 jika kita mau berfikir.
Tak banyak yang bisa ana ceritakan. Ini pun hanya sekedar tabayun terhadap kita. Ada Amniyah (Rahasia) lain yang belum ana bisa katakan kepada antum. Nanti sekiranya, amtum sudah faham dengan semua ini maka antum akan mengetahuinya sekalipun tanpa ana kisahkan. Karena bagi ana menunaikan amalan disaksikan Allah itu melegakan bagi jiwa. Tak perlu semuanya tau.
fahamilah kita ini bukan perkumpulan orang-orang yang menganggur, mengatur dengan jari telunjuk, bukan! Itu bukan kita!. Kita itu ‘Nahnu Du'aatun Qabla Kulli Syai'in’ ya tidak bisa di pungkiri kita ini da’i sebelum menjadi apapun. Sebenarnya banyak tuntutan seorang du’at di mana2 jika kita mau berfikir.
Akhi fillah bukan ana
ingin menjauh dari amanah ini. Sungguh ini mungkin kurangnya ana dalam
memenejemen setiap langkah. Ana yakin antum sudah lebih Ber-kafaah dalam dakwah
ini.
Akhi fillah banyak sekali masalah ikhwah dimanapun Harokahnya, akhi di saat antum tidak menggambil bagian dari dakwah in,i maka banyak ikhwah yang menangi, disaat ia menggendarai motor, ia berani menangis karena wajahnya tertutupi helm. Ia menangis karena tak kuat menahan amanah dakwah ini, akhi disaat antum kecewa dengan orang yang dulunya engkau percaya, ikhwah lain sebenarnya lebih banyak kecewa darimu. Tapi ia selalu senantiasa untuk merajut kembali jalan dakwah ini, dan tetap bertahan. Karena mereka sadar ‘kekecewaan adalah hal yang manusiawi tapi dakwah harus selalu terukir dalam Hati’.
Akhi fillah disaat
atum kecewa dengan beberapa amanah yang tak dijalankan. Sebenarnya ikhwah lain
diluar sana ada yang lebih kecewa dan alasan yang kuat dan berkali-kali lipat
dari antum. Tetapi mereka sadar akhi akan tujuan hidup yang sebenarnya. Mereka memang
punya banyak alasan, tetapi mereka tidak beralasan dalam jalan dakwah. Untuk Alloh,
Demi Alloh. Mereka disaat lelah yang sangat masih menyempatkan diri untuk
bangun dari tidurnya menengadahkan tangan dihadapan Rabb-Nya. Bukan untuk
meminta sesuatu akhi. Tetapi mereka menangis, curhat ke Alloh, berharap Alloh
meringankan Amanah mereka, mengisi perut yang kosong karna uang yang habis
untuk membiayai dakwah.
Akhi fillah. Sungguh dakwah
ini jalan yang berat, jalan yang terjal. ‘Dakwah ini bukan sebatas teori tapi pengalaman
dan pengamalan akhi’. Tidak ada kata ” jadilah” maka akan terjadi. ‘Yang ada
adalah “jadilah” lalu antum bergerak untuk menjadikannya akhi’.itulah dakwah. Ilmu yang
kau jadikan ia menjadi.
Akhi fillah jika
saudaramu menangis setiap hari bolehkah mereka meminta bantuanmu. Meminjam bahu
mu. Dalam berkumpul dan berjuang bersama-sama agar mereka dapat menyimpan
butiran tangisnya untuk berterimakasih kepadamu. Juga untuk tangis haru saat
mereka bermunajat kepada Alloh.
Akhi fillah
terimakasih. Maafkan daku yang fakir ilmu ini. Tentu segala luka dan kecewa
tampak kan malu dan meniada. Ketika kita insyafi bahwa Alloh Yang Maha Mengatur
tak pernah keliru dan tak pernah Aniayah. Smoga bisa jadi nutrisi untuk jiwa
kita... Aamiin.
ditulis oleh: Andi Wirman Moeslem (Anggota Humas Rois Feb Unila)
0 comments:
Post a Comment